Jakarta, Kumparan7.Com- Aktivis dan pegiat anti-korupsi Bambang Harymurti menantang semua akademisi anti-korupsi yang telah melakukan eksaminasi perkara Mardani H Maming agar tidak diam dan melakukan upaya hukum secara maksimal. Dia meminta semua akademisi bidang hukum tersebut agar ramai-ramai mengirimkan surat amicus curae (sahabat pengadilan) ke Mahkamah Agung (MA).
Pernyataan Bambang Harymurti disampaikan melalui rilis Universitas Islam Indonesia yang diterima pada Rabu (156/10/2024). Pernyataan itu disampaikan saat menghadiri diskusi dan bedah buku eksaminasi kasus Mardani H Maming yang dihadiri para pakar hukum di Yogyakarta, pekan lalu.
“Pendapat para ahli hukum terkemuka dan hasil eksaminasi atas putusan perkara Mardani H. Maming yang menyatakan terhadap terdakwa seharusnya dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum harus diketahui dan didengar oleh Mahkamah Agung yang berwenang memutus perkara pada Peninjauan Kembali, agar mempunyai dampak hukum,” katanya.
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo dan mantan pengurus Dewan Pers ini meminta agar semua pihak berani menyatakan sikap dengan cara mengirimkan pesan kepada MA. “Asas hukum di Indonesia adalah praduga tak bersalah dan beban pembuktian ada di pihak Penuntut Umum,” katanya dengan tegas.
“Harusnya para ahli hukum dan eksaminator putusan berani menyusun dan mengirimkan pendapatnya sebagai ahli atau sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan) kepada Mahkamah Agung,” lanjutnya. “Jangan lupa peribahasa hukum yang kerap dikutip, yang menyatakan lebih baik membebaskan sepuluh bahkan seratus orang yang bersalah ketimbang menghukum satu orang yang tidak (terbukti) bersalah”.
Mardani H Maming dijatuhi hukuman penjara dan denda atas dugaan menerima gratifikasi sebesar Rp118 miliar dari almarhum Henry Soetio, mantan Direktur PT Prolindo Cipta Nusantara.
Padahal, bukti-bukti persidangan, menurut hasil eksaminasi para pakar hukum UII, telah membantah semua tuduhan tersebut. Apalagi ada keputusan Pengadilan Niaga yang sudah inkrah dan menyatakan itu murni hubungan bisnis dan bukan merupakan “kesepakatan diam-diam.”
Desakan untuk membebaskan Mardani H Maming dari jeratan hukum banyak disuarakan para aktivis dan pakar hukum saat berlangsung diskusi dan bedah buku “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Menangani Perkara Mardani H. Maming,”
Diskusi ini diselenggarakan oleh Centre for Leadership and Law Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Sabtu (5/10/2024). Dalam diskusi tersebut, berbagai kekeliruan dalam penanganan kasus mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan ini diungkap.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Topo Santoso, menyatakan pentingnya eksaminasi kritis dari para ahli hukum terhadap putusan pengadilan. “Kekeliruan dalam putusan hakim selalu mungkin terjadi, dan eksaminasi kritis ini penting sebagai pembelajaran bagi para penegak hukum,” kata Prof Topo.
Di tempat yang sama, mantan Rektor Universitas Diponegoro, yang juga Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Yos Johan Utama, menyampaikan telaah hukumnya terkait kasus yang menimpa Mardani H Maming.
“Keputusan terdakwa terkait pemindahan IUP sah dan tidak pernah dinyatakan tidak sah atau batal oleh pengadilan yang berwenang menilai perbuatan administrasi yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara,” katanya.
“Keputusan terdakwa masih sah dan berlaku, maka tidak ada pelanggaran administrasi. Tidak terdapat pula titik taut dengan perbuatan pidana, karena itu terhadap terdakwa tidak dapat dipidana, sehingga terdapat cukup alasan untuk menyatakan adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam putusan pengadilan yang memidana terdakwa,”katanya.
Pendapat itu diamini Profesor Romli Atmasasmita, Guru Besar Fakultas Hukum Unpad, mengemukakan ada delapan kehilafan hakim yang menyidangkan perkara Mardani H Maming.
“Menurut saya, ada delapan kekeliruan yang bisa dikategorikan sebagai kesesatan dalam penerapan hukum,” ujar Prof Romli dalam keterangan pers yang diterima, Rabu (9/10/2024).
Kekeliruan yang dimaksud Prof Romli adalah proses penuntutan kasus ini yang dia nilai seperti dipaksakan dengan penerapan pasal yang kurang tepat.
“Oleh karena itu, pola pemikiran sistematis, historis, dan teleologis dalam putusan Kasasi perkara Nomor 3741/2023 atas nama Mardani Maming tidak dijalankan. Putusan tersebut sudah memenuhi alasan adanya novum serta kekhilafan atau kekeliruan nyata dari hakim,” jelas Prof Romli.(agus)